NIM : 15101117
MANAJEMEN
Merawat Amanat Konstitusi
“Sebagai seorang presiden....aku tak
punya mata, kecuali mata konstitusi. Dengan mata konstitusi, presiden bisa
mengetahui apa yang benar”(Abraham
Lincoln, 1809-1865)
HARI
Konstitusi (HK), yang jatuh pada tanggal 18 Agustus merupakan momen penting,
karena perayaan HK hanya berselang satu hari dari perayaan Hari Kemerdekaan RI,
yang dikumandangkan oleh dwi-tunggal Soekarno-Hatta pada Jum’at siang, 17
Agustus 1945.
Penetapkan
konstitusi negara, yang kita kenal sebagai UUD 1945, dikukuhkan sejak tahun
2008 lalu melalui Keputusan Presiden RI No 18 Tahun 2008, yang menetapkan
tanggal 18 Agustus sebagai HK. Penetapan ini merujuk pada tanggal pengesahan
UUD 1945—yang menjadi landasan konstitusi Indonesia Merdeka—oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Secara
etimologis, pengertian konstitusi berasal dari bahasa latin, constituo atau
constituntum, yang berarti dokumuen hukum (legal document) resmi
dengan kedudukan sangat istimewa, baik dalam bentuk tetulis (written)
maupun tidak tertulis (unwritten).
Keistimewaan
suatu konstitusi terdapat dari sifatnya yang mendasari kesepakatan-kesepakatan
tentang prinsip pokok organisasi negara serta upaya pembatasan kekuasaan negara.Kemuliaan
konstitusi itu pulalah yang menjadikannya sebagai fundamental and basic law
karena wujudnya yang dapat dipersamakan dengan suatu piagam kelahiran suatu
negara baru (a birth certificate).
Mengutip
Prof Jimly Asshiddiqie (2009), konsensus yang menjamin tegaknya pilar
konstitusionalisme di zaman modern bersandar pada tiga konsensus: (1)
kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama; (2) kesepakatan tentang the
rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the
basis of government); dan (3) kesepakatan tentang bentuk
institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan.
Dalam
konstitusi terdapat pula nilai dan semangat yang mendasari pandangan hidup
bangsa.Itulah yang menjadikan konstitusi sebagai dokumen hukum istimewa
sekaligus sumber hukum utama, sehingga tidak boleh ada peratuan
perundang-undangan yang bertentangan dengannya.
Sebagai
wujud perjanjian sosial (social contract) tertinggi, konstitusi memuat
cita-cita dan prinsip-prinsip dasar yang akan dicapai dari pembentukan sebuah
negara. UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia merupakan dokumen hukum
dan dokumen politik yang memuat cita-cita, dasar-dasar, dan prinsip-prinsip
penyelenggaraan kehidupan nasional.
Merawat Konstitusi
Sebagai
jiwa jaman (zeitgeist) dan kesepakatan final (final agreement)
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi wajib menjadi referensi
utama dalam menjawab setiap permasalahan yang dihadapi bangsa.Sebagai kotrak
sosial (social contract) tertinggi, konstitusi tak hanya berperan
sebatas acuan hukum dasar, namun seluruh amanat yang terkandung dalam teks
konstitusi wajib dilaksanakan oleh para penyelenggara negara.
Namun,
dalam praktik bernegara, kita kerap menyaksikan konstitusi lebih sering
ditundukkan di bawah logika kekuasaan politik yang berwatak teknokratis dan
pragmatis.Setelah 66 tahun merdeka, mengutip hasil survei Political &
Economic Risk Consultancy (PERC, 8/3/2010), Indonesia ternyata masih duduk
sebagai negara terkorup dengan skor 9.07 (dari skor 10).
Pada
tahun 2008, Indonesia menduduki posisi ke-3 dengan nilai tingkat korupsi 7.98
setelah Filipina (tingkat korupsi 9,0) dan Thailand (tingkat korupsi 8.0).
Sedangkan pada tahun 2009, Indonesia juga dianggap sebagai negara terkorup dari
16 negara yang disurvei oleh PERC.
Hasil
survei Setara Institute yang dirilis di Jakarta, 14 Agustus lalu, juga
menunjukkan kemiskinan tetap menjadi problem utama bangsa. Problem akut bangsa
lainnya adalah korupsi, kolusi, nepotisme, pengangguran, tingginya harga
sembako, perilaku kebanyakan pemimpin yang tidak prorakyat, tingginya biaya
pendidikan, dan buruknya pelayanan publik yang dilakukan para penyelenggara
negara, baik di pusat maupun daerah.
Catatan
Bank Dunia juga menunjukkan, Indonesia hinga kini masih berada pada kategori
negeri miskin, dengan garis kemiskinan absolut US$ 1 hingga US$ 2, yang
dihitung berdasarkan rata-rata kemampuan paritas daya beli rakyatnya per hari (purchasing
in power parity). Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat,
hingga Maret 2010 jumlah penduduk miskin mencapai 31 juta atau sekitar 13,33
persen dari seluruh penduduk Indonesia. Jumlah ini menurun dibanding tahun 2009
lalu yang mencapai 32,53 juta orang miskin.
Kalau
kategori atau ukuran kemiskinan diubah dengan menggunakan variabel penghasilan
US$ 1 per orang/hari, maka jumlah orang miskin di Indonesia masih diangka 30
persen.Namun, jika dihitung dengan standar pendapatan Bank Dunia sebesar US$ 2
per orang/hari, maka 50 persen penduduk Indonesia masuk dalam kategori miskin.
Sejak
masa pra kemerdekaan, kemiskinan terus membelit rakyat kita yang mayoritas
hidup di wilayah pedesaan. Tahun 1976, jumlah penduduk miskin pedesaan mencapai
44,2 juta orang, atau 81,5 persen dari total penduduk miskin. Lebih dari 30
tahun kemudian, kendati ada sedikit pembaikan, angka kemiskinan di desa masih
tetap tinggi.
Per
Maret 2009, jumlah penduduk miskin desa masih bertengger di angka 20,6 juta
orang atau 63,4 persen dari total penduduk miskin. Kemajuan Jawa dan daerah
perkotaan inilah yang menjadi faktor penarik (pull factor) terkuat
meroketnya angka urbanisasi; sementara ketertinggalan luar Jawa dan daerah
pedesaan menjadi faktor pendorongnya (push factor).
Puluhan
juta manusia mengadu nasib ke kota karena kemiskinan di desa. Kota, terus menarik
jutaan tenaga kerja terdidik, terlatih, dan terampil meninggalkan desa-desa
miskin yang kian terbelakang. Derap pembangunan di kota tidak menyebarkan
manfaat (spread effect) ke desa, namun justru mengisap sumber daya
perekonomian desa ke kota (backwash effect).
Masalah
disfungsi negara juga tak kalah pelik.Negara cenderung permisif dalam banyak
hal, seperti membiarkan meluasnya praktik korupsi, memburuknya kualitas layanan
publik, penguasaan sumber daya alam oleh asing, gap kaya dan miskin yang
kian melebar, serta ketidakmampuan negara menegakkan kebijakan yang melindungi
rakyatnya. .
Berbagai
inkompatibilitas dalam sistem negara ini mendasari hadirnya penyakit-penyakit
dalam kehidupan politik, pemerintahan, dan birokrasi.Partai politik tak mampu
menciptakan regulasi yang melindungi dan menjamin kesejahteraan masyarakat,
parlemen sibuk dengan urusan teknis dan elitis, pemerintah tak mampu mewujudkan
efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas, sementara birokrasi tak dapat
menyelenggarakan pelayanan dan memenuhi kebutuhan publik.
Kita
juga perlu merenungi kata-kata Bung Hatta dalam pidato penganugerahan gelar
Doktor Honoris Causa dari UGM, tiga hari sebelum ia mengundurkan diri sebagai
wapres. “Revolusi kita menang dalam menegakkan negara baru, dalam menghidupkan
kepribadian bangsa.Namun, revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita
sosial dan ekonominya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar