Jumat, 20 November 2015

Konstitusi (Rio Aditya Ermindo)

Nama           : Rio Aditya Ermindo
NIM             : 15101117
MANAJEMEN


Merawat Amanat Konstitusi
“Sebagai seorang presiden....aku tak punya mata, kecuali mata konstitusi. Dengan mata konstitusi, presiden bisa mengetahui apa yang benar”(Abraham Lincoln, 1809-1865)

HARI Konstitusi (HK), yang jatuh pada tanggal 18 Agustus merupakan momen penting, karena perayaan HK hanya berselang satu hari dari perayaan Hari Kemerdekaan RI, yang dikumandangkan oleh dwi-tunggal Soekarno-Hatta pada Jum’at siang, 17 Agustus 1945.

Penetapkan konstitusi negara, yang kita kenal sebagai UUD 1945, dikukuhkan sejak tahun 2008 lalu melalui Keputusan Presiden RI No 18 Tahun 2008, yang menetapkan tanggal 18 Agustus sebagai HK. Penetapan ini merujuk pada tanggal pengesahan UUD 1945—yang menjadi landasan konstitusi Indonesia Merdeka—oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Secara etimologis, pengertian konstitusi berasal dari bahasa latin, constituo atau constituntum, yang berarti dokumuen hukum (legal document) resmi dengan kedudukan sangat istimewa, baik dalam bentuk tetulis (written) maupun tidak tertulis (unwritten).

Keistimewaan suatu konstitusi terdapat dari sifatnya yang mendasari kesepakatan-kesepakatan tentang prinsip pokok organisasi negara serta upaya pembatasan kekuasaan negara.Kemuliaan konstitusi itu pulalah yang menjadikannya sebagai fundamental and basic law karena wujudnya yang dapat dipersamakan dengan suatu piagam kelahiran suatu negara baru (a birth certificate).

Mengutip Prof Jimly Asshiddiqie (2009), konsensus yang menjamin tegaknya pilar konstitusionalis­me di zaman modern bersandar pada tiga konsensus: (1) kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama; (2) kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government); dan (3) kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prose­dur-prosedur ketatanegaraan.

Dalam konstitusi terdapat pula nilai dan semangat yang mendasari pandangan hidup bangsa.Itulah yang menjadikan konstitusi sebagai dokumen hukum istimewa sekaligus sumber hukum utama, sehingga tidak boleh ada peratuan perundang-undangan yang bertentangan dengannya.

Sebagai wujud perjanjian sosial (social contract) tertinggi, konstitusi memuat cita-cita dan prinsip-prinsip dasar yang akan dicapai dari pembentukan sebuah negara. UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia merupakan dokumen hukum dan dokumen politik yang memuat cita-cita, dasar-dasar, dan prinsip-prinsip penyelenggaraan kehidupan nasional.
Merawat Konstitusi
Sebagai jiwa jaman (zeitgeist) dan kesepakatan final (final agreement) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi wajib menjadi referensi utama dalam menjawab setiap permasalahan yang dihadapi bangsa.Sebagai kotrak sosial (social contract) tertinggi, konstitusi tak hanya berperan sebatas acuan hukum dasar, namun seluruh amanat yang terkandung dalam teks konstitusi wajib dilaksanakan oleh para penyelenggara negara.

Namun, dalam praktik bernegara, kita kerap menyaksikan konstitusi lebih sering ditundukkan di bawah logika kekuasaan politik yang berwatak teknokratis dan pragmatis.Setelah 66 tahun merdeka, mengutip hasil survei Political & Economic Risk Consultancy (PERC, 8/3/2010), Indonesia ternyata masih duduk sebagai negara terkorup dengan skor 9.07 (dari skor 10).

Pada tahun 2008, Indonesia menduduki posisi ke-3 dengan nilai tingkat korupsi 7.98 setelah Filipina (tingkat korupsi 9,0) dan Thailand (tingkat korupsi 8.0). Sedangkan pada tahun 2009, Indonesia juga dianggap sebagai negara terkorup dari 16 negara yang disurvei oleh PERC.

Hasil survei Setara Institute yang dirilis di Jakarta, 14 Agustus lalu, juga menunjukkan kemiskinan tetap menjadi problem utama bangsa. Problem akut bangsa lainnya adalah korupsi, kolusi, nepotisme, pengangguran, tingginya harga sembako, perilaku kebanyakan pemimpin yang tidak prorakyat, tingginya biaya pendidikan, dan buruknya pelayanan publik yang dilakukan para penyelenggara negara, baik di pusat maupun daerah.

Catatan Bank Dunia juga menunjukkan, Indonesia hinga kini masih berada pada kategori negeri miskin, dengan garis kemiskinan absolut US$ 1 hingga US$ 2, yang dihitung berdasarkan rata-rata kemampuan paritas daya beli rakyatnya per hari (purchasing in power parity). Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat, hingga Maret 2010 jumlah penduduk miskin mencapai 31 juta atau sekitar 13,33 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Jumlah ini menurun dibanding tahun 2009 lalu yang mencapai 32,53 juta orang miskin.

Kalau kategori atau ukuran kemiskinan diubah dengan menggunakan variabel penghasilan US$ 1 per orang/hari, maka jumlah orang miskin di Indonesia masih diangka 30 persen.Namun, jika dihitung dengan standar pendapatan Bank Dunia sebesar US$ 2 per orang/hari, maka 50 persen penduduk Indonesia masuk dalam kategori miskin.

Sejak masa pra kemerdekaan, kemiskinan terus membelit rakyat kita yang mayoritas hidup di wilayah pedesaan. Tahun 1976, jumlah penduduk miskin pedesaan mencapai 44,2 juta orang, atau 81,5 persen dari total penduduk miskin. Lebih dari 30 tahun kemudian, kendati ada sedikit pembaikan, angka kemiskinan di desa masih tetap tinggi.

Per Maret 2009, jumlah penduduk miskin desa masih bertengger di angka 20,6 juta orang atau 63,4 persen dari total penduduk miskin. Kemajuan Jawa dan daerah perkotaan inilah yang menjadi faktor penarik (pull factor) terkuat meroketnya angka urbanisasi; sementara ketertinggalan luar Jawa dan daerah pedesaan menjadi faktor pendorongnya (push factor).

Puluhan juta manusia mengadu nasib ke kota karena kemiskinan di desa. Kota, terus menarik jutaan tenaga kerja terdidik, terlatih, dan terampil meninggalkan desa-desa miskin yang kian terbelakang. Derap pembangunan di kota tidak menyebarkan manfaat (spread effect) ke desa, namun justru mengisap sumber daya perekonomian desa ke kota (backwash effect).

Masalah disfungsi negara juga tak kalah pelik.Negara cenderung permisif dalam banyak hal, seperti membiarkan meluasnya praktik korupsi, memburuknya kualitas layanan publik, penguasaan sumber daya alam oleh asing, gap kaya dan miskin yang kian melebar, serta ketidakmampuan negara menegakkan kebijakan yang melindungi rakyatnya. .

Berbagai inkompatibilitas dalam sistem negara ini mendasari hadirnya penyakit-penyakit dalam kehidupan politik, pemerintahan, dan birokrasi.Partai politik tak mampu menciptakan regulasi yang melindungi dan menjamin kesejahteraan masyarakat, parlemen sibuk dengan urusan teknis dan elitis, pemerintah tak mampu mewujudkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas, sementara birokrasi tak dapat menyelenggarakan pelayanan dan memenuhi kebutuhan publik.
Kita juga perlu merenungi kata-kata Bung Hatta dalam pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dari UGM, tiga hari sebelum ia mengundurkan diri sebagai wapres. “Revolusi kita menang dalam menegakkan negara baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa.Namun, revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosial dan ekonominya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar