Rabu, 11 November 2015

Identitas Nasional (Indira Ayu)



Nama   : Indira Ayu Pradita
Prodi   : Manajemen
NIM    : 15101159

            Berbeda-beda tetapi Tetap Satu
            Berlambang Garuda dan bersemboyan Bhineka Tunggal Ika, itulah negeriku, Indonesia. Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu berasal dari sebuah karangan yang dinamakan buku Sutasoma dari Mpu Tantular yang dibuat sekitar abad ke-14 pada masa Kerajaan Majapahit. Dalam karangan tersebut, makna dari Bhinneka Tunggal Ika lebih ditekankan terhadap perbedaan akan kepercayaan serta kepercayaan di tengah masyarakat yang hidup pada zaman Majapahit.
 Bhinneka Tunggal Ika mulai menjadi bahan diskusi terbatas antara Muhammad Yamin, I Gusti Bagus Sugriwa, dan Bung Karno di sela-sela sidang BPUPKI sekitar 2,5 bulan sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia(Kusuma R.M. A.B, 2004). Bahkan Bung Hatta sendiri mengemukakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika merupakan ciptaan Bung Karno pasca Indonesia merdeka. Setelah beberapa tahun kemudian ketika mendesain Lambang Negara Republik Indonesia dalam bentuk burung Garuda Pancasila, semboyan Bhinneka Tunggal Ika disisipkan ke dalamnya. Secara resmi lambang ini digunakan dalam Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat yg dipimpin oleh Bung Hatta pada tanggal 11 Februari 1950 berdasarkan rancangan yang diciptakan oleh Sultan Hamid ke-2 (1913-1978). Pada sidang tersebut mengemuka banyak usulan rancangan lambang negara, selanjutnya yang dipilih adalah usulan yang diciptakan Sultan Hamid ke-2 & Muhammad Yamin, dan kemudian rancangan dari Sultan Hamid yang akhirnya ditetapkan (Yasni, Z, 1979). Karya Mpu Tantular tersebut oleh para founding fathers diberikan penafsiran baru sebab dianggap sesuai dengan kebutuhan strategis bangunan Indonesia merdeka yang terdiri atas beragam agama, kepercayaan, etnis, ideologi politik, budaya dan  bahasa. Dasar pemikiran tersebut yang menjadikan semboyan “keramat” ini terpajang melengkung dalam cengkeraman kedua cakar Burung Garuda. Burung Garuda dalam mitologi Hindu ialah kendaraanDewa Vishnu (Ma’arif A. Syafii, 2011).
Dalam proses perumusan konstitusi Indonesia, jasa Muh.Yamin harus diingat sebagai orang yang pertama kali mengusulkan kepada Bung Karno agar Bhinneka Tunggal Ikadijadikan semboyan sesanti negara. Muh. Yamin sebagai tokoh kebudayaan dan bahasa memang dikenal sudah lama bersentuhan dengan segala hal yang berkenaan dengan kebesaran Majapahit (Prabaswara, I Made, 2003). Konon, di sela-sela Sidang BPUPKI antara Mei-Juni 1945, Muh. Yamin menyebut-nyebut ungkapan Bhinneka Tunggal Ika itu sendirian. Namun I Gusti Bagus Sugriwa (temannya dari Buleleng) yang duduk di sampingnya sontak menyambut sambungan ungkapan itu dengan “tan hana dharma mangrwa.” Sambungan spontan ini di samping menyenangkan Yamin, sekaligus menunjukkan bahwa di Bali ungkapan Bhinneka Tunggal Ika itu masih hidup dan dipelajari orang (Prabaswara, I Made, 2003). Meksipun Kitab Sutasoma ditulis oleh seorang sastrawan Buddha, pengaruhnya cukup besar di lingkungan masyarakat intelektual Hindu Bali.
Untuk Indonesia, Bhineka Tunggal Ika mendeskripsikan Indonesia yang memiliki banyak perbedaan ras, suku, agama, Bahasa, kebudayaan, dll. Tetapi masih menjadi satu kesatuan yaitu Indonesia. Indonesia adalah negara yang berkepulauan maka disetiap pulau pasti ada perbedaan antara pulau satu dengan yang lainnya oleh karena itu Bhineka Tunggal Ikalah yang menjadi penyatu masyarakat Indonesia yang multicultural agar tidak terjadi konflik akibat perbedaan.
Prinsip Bhineka Tunggal Ika mendukung nilai seperti:
-          Nilai inklusif : tidak memandang rendah orang/kelompok lain
-          Sikap rukun dan damai : sikap toleransi, saling menghargai perbedaan yang ada
-          Musyawarah untuk mencapai mufakat
-          Sikap kasih sayang dan rela berkorban





Tidak ada komentar:

Posting Komentar