Jason Renaldo
15101133
Ekonomi /
Manajemen
SUPREMASI
HUKUM DALAM RANGKA MENDUKUNG PERCEPATAN
DAERAH TERTINGGAL
Reformasi yang dimulai pada tahun
1998 memperjuangkan adanya good governance and clean government. Tuntutan yang
diajukan ini merupakan reaksi terhadap keadaan pemerintah pada era Orde Baru
dengan berbagai permasalahan yang terutama meliputi pemusatan kekuasaan pada
Presiden, baik akibat konstitusi (UUD NRI Th. 1945) maupun tidak berfungsi
dengan baik lembaga tertinggi dan tinggi negara lainnya, serta tersumbatnya
saluran partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial.
Hampir empat belas tahun setelah
dimulainya reformasi, keinginan untuk memperoleh good governace and clean
government masih jauh daripada harapan. Berbagai kendala menampakkan diri dalam
bentuk gejolak politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, pemerintahan, yang
simpang siur dan menimbulkan ketidakpastian yang bermuara pada keresahan dan
letupan-letupan yang membahayakan sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Dalam pada itu, secara konseptual
telah berkembang prinsip pembangunan berkelanjutan yang mewarnai perkembangan
dunia sejak KTT di Rio de Janeiro pada tahun 1992. Prinsip tersebut telah dicantumkan baik dalam
berbagai konvensi pada tingkat global, maupun dalam berbagai kesepakatan
regional, kebijakan nasional, dan kebijakan lokal.
Hubungan antara good governance
dan pembangunan berkelanjutan dapat dilihat dari sudut kelembagaan dan dari
sudut sikap sumberdaya manusianya.
Sebagai negara hukum
sebenarnya prinsip-prinsip supremasi
hukum harus sudah terlaksana semenjak UUD NRI Th.1945 dideklarasikan. Supremasi
hukum mengandung makna bahwa (1) government is under the law; (2)
keberadaan kekuasaan kehakiman yang
merdeka; (3) ”access to justice” bagi mereka yang menjadi korban pelanggaran
hukum baik oleh anggota masyarakat yang lain maupun oleh kekuasaan harus
terbuka luas; (4) hukum harus ditegakkan secara umum non diskriminatif, adil
dan pasti; prinsip-prinsip supremasi hukum menjadi sangat menonjol di era
reformasi atau demoratisasi saat ini,
karena supremasi hukum merupakan salah satu ”core values of democracy”. Di satu pihak supremasi hukum menjaga untuk
tidak terjadinya praktek-praktek ”abuse of power” kekuasaan dan di lain pihak
supremasi hukum menjaga agar masyarakat dalam menjalankan hak-haknya tidak
terjerumus dalam anarchisme. Demokrasi,
supremasi hukum dan promosi serta perlindungan HAM merupakan prinsip-prinsip
untuk menjalankan roda pemerintahan
secara beradab.
Pemikiran tersebut sangat
relevan, karena sebenarnya krisis
nasional yang bersifat multidimensional
yang belum teratasi secara maksimal saat ini, merupakan dampak dari penyimpangan terhadap prinsip-prinsip di
atas, di mana hak-hak sipil dan politik banyak dikorbankan demi tuntutan
stabilitas, demi pembangunan ekonomi, sehingga pada waktu terjadi krisis
ekonomi semenjak akhir tahun 1997,
terjadi sinergi negatif antara keduanya (krisis politik dan krisis
ekonomi) sehingga kepercayaan kepada
penguasa lenyap dan pemerintahan jatuh.
Supremasi hukum, merupakan ide
normatif untuk mencegah atau menghindari terjadinya kesewenang-wenangan dan
terjaminnya equality before the law.
Selain itu, ide “negara berdasarkan hukum”, memunculkan keharusan
imperatif agar seluruh kekuasaan politik mesti tunduk pada hukum. Perlindungan hak-hak asasi manusia, merupakan
ide normatif untuk menjamin hak-hak rakyat sebagai pihak yang diperintah. Checks and balances merupakan ide normatif untuk menghindari
terjadinya absolutisme dalam pelaksanaan kekuasaan negara, dan untuk menjamin
berjalannya demokrasi. Sedangkan
rechterlijke controle merupakan ide
normatif untuk menghindari terjadinya pemaksaan kehendak oleh pihak yang kuat
terhadap yang lemah, termasuk antara yang memerintah dan yang diperintah.
Tapi sebagaimana diketahui,
secara teoritis maupun praktis, tegaknya supremasi hukum tidak hanya ditentukan
oleh tersedianya peraturan perundang-undangan yang aspiratif dan mencerminkan
nilai-nilai dalam masyarakat, tetapi juga oleh ketersediaan aparat yang
profesional, ketersediaan sarana / prasarana yang memadai, serta dukungan
masyarakat yang maksimal. Oleh karena itu, pembangunan sistem hukum dan politik
hukum mestinya diarahkan pada pembenahan menyeluruh semua dimensi yang terkait
tersebut. Peraturan perundang-undangan
tidak bisa berjalan sendiri tanpa sokongan aparat yang melaksanakannya.
Sampai di sini setiap orang mulai
berbicara tentang konsep negara hukum yang ideal dan demokratis, yang
seharusnya memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. keberadaan sistem “checks and balances”yang
sehat;
2. kekuasaan kehakiman yang merdeka;
3. promosi dan perlindungan HAM dan KAM;
4. kekuasaan eksekutif tunduk pada
prinsip-prinsip supremasi hukum;
5. kesempatan bagi warganegara untuk menuntut
keadilan apabila terjadi “maladministration” atau kegagalan badan-badan publik
dalam menjalankan tanggungjawab;
6. partisipasi masyarakat dalam pembuatan
hukum (law making process); dalam penegakan hukum (law enforcement process) dan
dalam membangun kesadaran hukum (law awareness);
7. dihormatinya hukum yang hidup dalam
masyarakat (the living law);
8. penghormatan asas-asas hukum internasional
yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab;
9. perlindungan HAM dalam administrasi peradilan (non
diskriminasi, asas legalitas, asas fair trial,
dan sebagainya);
10. hukum harus bersifat responsif (responsive
law) (mengutamakan legitimasi dan kompetensi,
keadilan substantif, kejujuran beracara, taat asas dan kebijakan,
menghindari pendekatan formalistik dan legalistik semata-mata, segala diskresi
harus didasarkan atas tujuan yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan, menjaga
keseimbangan antara moralitas institusional, moralitas sosial dan moralitas
sipil, dan menghindari politisasi hukum);
Percepatan pembangunan
daerah tertinggal dimulai dengan pengidentifikasian daerah tertinggal dengan
menggunakan kriteria sebagai berikut:
a. secara perekonomian suatu daerah memiliki
PDB dan pendapatan per kapita yang rendah, dan tingkat kemiskinan yang tinggi;
b. secara sumber daya manusia daerah memiliki
Indeks Pembangunan Manusia yang rendah;
c. secara sarana dan prasarana yang minim di
bidang transportasi, energi, kesehatan, pendidikan, telekomunikasi dan
perekonomian; dan/atau
d. secara kemampuan keuangan daerah mempunyai
Pendapatan Asli Daerah dan Penerimaan dari Pemerintah rendah.
Tujuan
percepatan pembangunan daerah tertinggal adalah untuk:
1. memberikan dan menjamin pemenuhan hak dan
kesempatan kepada setiap warga negara dan daerah tertinggal untuk mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan agar setara dengan daerah lainnya dalam wilayah
NKRI;
2. memberdayakan masyarakat daerah tertinggal
melalui pembukaan atau peningkatan akses dalam berbagai bidang sehingga mereka
mampu menjaga harkat dan martabat sebagaimana warga negara Indonesia lainnya;
3. meningkatkan kualitas sumber daya manusia
melalui pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, termasuk namun tidak terbatas
pada kesehatan, pendidikan, dan lapangan pekerjaan;
4. meningkatkan ketersediaan sarana dan
prasarana di dalam daerah tertinggal, antara lain energi (listrik),
transportasi, telekomunikasi, dan sarana perdagangan; dan
5. mempercepat terciptanya keseimbangan
pembangunan daerah tertinggal dengan daerah lainnya, sehingga terjadi harmonisasi
kehidupan antar masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar