Kamis, 14 Januari 2016

Supremasi Hukum -Jason



Jason Renaldo
15101133
Ekonomi / Manajemen
SUPREMASI HUKUM  DALAM RANGKA MENDUKUNG PERCEPATAN DAERAH TERTINGGAL
              Reformasi yang dimulai pada tahun 1998 memperjuangkan adanya good governance and clean government. Tuntutan yang diajukan ini merupakan reaksi terhadap keadaan pemerintah pada era Orde Baru dengan berbagai permasalahan yang terutama meliputi pemusatan kekuasaan pada Presiden, baik akibat konstitusi (UUD NRI Th. 1945) maupun tidak berfungsi dengan baik lembaga tertinggi dan tinggi negara lainnya, serta tersumbatnya saluran partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial.
              Hampir empat belas tahun setelah dimulainya reformasi, keinginan untuk memperoleh good governace and clean government masih jauh daripada harapan. Berbagai kendala menampakkan diri dalam bentuk gejolak politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, pemerintahan, yang simpang siur dan menimbulkan ketidakpastian yang bermuara pada keresahan dan letupan-letupan yang membahayakan sendi-sendi kehidupan masyarakat.
             Dalam pada itu, secara konseptual telah berkembang prinsip pembangunan berkelanjutan yang mewarnai perkembangan dunia sejak KTT di Rio de Janeiro pada tahun 1992.  Prinsip tersebut telah dicantumkan baik dalam berbagai konvensi pada tingkat global, maupun dalam berbagai kesepakatan regional, kebijakan nasional, dan kebijakan lokal.
              Hubungan antara good governance dan pembangunan berkelanjutan dapat dilihat dari sudut kelembagaan dan dari sudut sikap sumberdaya manusianya.
              Sebagai negara hukum sebenarnya  prinsip-prinsip supremasi hukum harus sudah terlaksana semenjak UUD NRI Th.1945 dideklarasikan. Supremasi hukum mengandung makna bahwa (1) government is under the law; (2) keberadaan  kekuasaan kehakiman yang merdeka; (3) ”access to justice” bagi mereka yang menjadi korban pelanggaran hukum baik oleh anggota masyarakat yang lain maupun oleh kekuasaan harus terbuka luas; (4) hukum harus ditegakkan secara umum non diskriminatif, adil dan pasti; prinsip-prinsip supremasi hukum menjadi sangat menonjol di era reformasi  atau demoratisasi saat ini, karena supremasi hukum merupakan salah satu ”core values of democracy”.  Di satu pihak supremasi hukum menjaga untuk tidak terjadinya praktek-praktek ”abuse of power” kekuasaan dan di lain pihak supremasi hukum menjaga agar masyarakat dalam menjalankan hak-haknya tidak terjerumus dalam anarchisme.  Demokrasi, supremasi hukum dan promosi serta perlindungan HAM merupakan prinsip-prinsip untuk  menjalankan roda pemerintahan secara beradab.
              Pemikiran tersebut sangat relevan, karena  sebenarnya krisis nasional yang bersifat multidimensional  yang belum teratasi secara maksimal saat ini, merupakan dampak dari  penyimpangan terhadap prinsip-prinsip di atas, di mana hak-hak sipil dan politik banyak dikorbankan demi tuntutan stabilitas, demi pembangunan ekonomi, sehingga pada waktu terjadi krisis ekonomi semenjak akhir tahun 1997,  terjadi sinergi negatif antara keduanya (krisis politik dan krisis ekonomi)  sehingga kepercayaan kepada penguasa  lenyap dan pemerintahan jatuh.
              Supremasi hukum, merupakan ide normatif untuk mencegah atau menghindari terjadinya kesewenang-wenangan dan terjaminnya equality before the law.  Selain itu, ide “negara berdasarkan hukum”, memunculkan keharusan imperatif agar seluruh kekuasaan politik mesti tunduk pada hukum.  Perlindungan hak-hak asasi manusia, merupakan ide normatif untuk menjamin hak-hak rakyat sebagai pihak yang diperintah.  Checks and balances  merupakan ide normatif untuk menghindari terjadinya absolutisme dalam pelaksanaan kekuasaan negara, dan untuk menjamin berjalannya demokrasi.  Sedangkan rechterlijke controle  merupakan ide normatif untuk menghindari terjadinya pemaksaan kehendak oleh pihak yang kuat terhadap yang lemah, termasuk antara yang memerintah dan yang diperintah.           
              Tapi sebagaimana diketahui, secara teoritis maupun praktis, tegaknya supremasi hukum tidak hanya ditentukan oleh tersedianya peraturan perundang-undangan yang aspiratif dan mencerminkan nilai-nilai dalam masyarakat, tetapi juga oleh ketersediaan aparat yang profesional, ketersediaan sarana / prasarana yang memadai, serta dukungan masyarakat yang maksimal. Oleh karena itu, pembangunan sistem hukum dan politik hukum mestinya diarahkan pada pembenahan menyeluruh semua dimensi yang terkait tersebut.  Peraturan perundang-undangan tidak bisa berjalan sendiri tanpa sokongan aparat yang melaksanakannya. 
              Sampai di sini setiap orang mulai berbicara tentang konsep negara hukum yang ideal dan demokratis, yang seharusnya memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1.    keberadaan sistem “checks and balances”yang sehat;
2.    kekuasaan kehakiman yang merdeka;
3.    promosi dan perlindungan HAM dan KAM;
4.    kekuasaan eksekutif tunduk pada prinsip-prinsip supremasi hukum;
5.  kesempatan bagi warganegara untuk menuntut keadilan apabila terjadi “maladministration” atau kegagalan badan-badan publik dalam menjalankan tanggungjawab;
6.    partisipasi masyarakat dalam pembuatan hukum (law making process); dalam penegakan hukum (law enforcement process) dan dalam membangun kesadaran hukum (law awareness);
7.    dihormatinya hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law);
8.    penghormatan asas-asas hukum internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab;
9.    perlindungan HAM  dalam administrasi peradilan (non diskriminasi, asas legalitas, asas fair trial,  dan sebagainya);
10.    hukum harus bersifat responsif (responsive law) (mengutamakan legitimasi dan kompetensi,  keadilan substantif, kejujuran beracara, taat asas dan kebijakan, menghindari pendekatan formalistik dan legalistik semata-mata, segala diskresi harus didasarkan atas tujuan yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan, menjaga keseimbangan antara moralitas institusional, moralitas sosial dan moralitas sipil, dan  menghindari politisasi hukum);
                   Percepatan pembangunan daerah tertinggal dimulai dengan pengidentifikasian daerah tertinggal dengan menggunakan kriteria sebagai berikut:
a.    secara perekonomian suatu daerah memiliki PDB dan pendapatan per kapita yang rendah, dan tingkat kemiskinan yang tinggi;
b.    secara sumber daya manusia daerah memiliki Indeks Pembangunan Manusia yang rendah;
c.    secara sarana dan prasarana yang minim di bidang transportasi, energi, kesehatan, pendidikan, telekomunikasi dan perekonomian; dan/atau
d.    secara kemampuan keuangan daerah mempunyai Pendapatan Asli Daerah dan Penerimaan dari Pemerintah rendah.
Tujuan percepatan pembangunan daerah tertinggal adalah untuk:
1.    memberikan dan menjamin pemenuhan hak dan kesempatan kepada setiap warga negara dan daerah tertinggal untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan agar setara dengan daerah lainnya dalam wilayah NKRI;
2.    memberdayakan masyarakat daerah tertinggal melalui pembukaan atau peningkatan akses dalam berbagai bidang sehingga mereka mampu menjaga harkat dan martabat sebagaimana warga negara Indonesia lainnya;
3.    meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, termasuk namun tidak terbatas pada kesehatan, pendidikan, dan lapangan pekerjaan;
4.    meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana di dalam daerah tertinggal, antara lain energi (listrik), transportasi, telekomunikasi, dan sarana perdagangan; dan
5.    mempercepat terciptanya keseimbangan pembangunan daerah tertinggal dengan daerah lainnya, sehingga terjadi harmonisasi kehidupan antar masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar