UPAYA PERLINDUNGAN HAM
Nama : Nida Ul
Hasanah
NIM :
15101150
Prodi :
Manajemen
Upaya perlindungan HAM penekanannya pada berbagai tindakan
pencegahan terhadap terjadinya pelanggaran HAM. Perlindungan HAM terutama
melalui pembentukan instrumen hukum dan kelembagaan HAM. Juga dapat melalui
berbagai faktor yang berkaitan dengan upaya pencegahan HAM yang dilakukan
individu maupun masyarakat dan negara. Negara-lah yang memiliki tugas utama
untuk melindungi warga negaranya termasuk hak- hak asasinya. Sebagaimana hal
ini dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, yang pada intinya tujuan NKRI adalah :
(1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa;
(4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
Upaya pelembagaan konsep perlindungan HAM dengan cara
meregulasikannya dalam undang-undang agar dapat ditegakkan sewaktu-waktu
terjadi pelanggaran terhadapnya, tampaknya bukan persoalan mudah. Terlebih lagi
apabila dengan maksud untuk “menyeret” ke meja hijau para pelaku pelanggaran
HAM masa lampau sebelum undang-undang HAM berlaku. Hal ini karena adanya beberapa
problem yang menyertainya:
Pertama, secara yuridis upaya tersebut akan bertentangan dengan
asas legalitas.
Kedua, sebagian besar pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat
atau pejabat negara cenderung bersifat politis dan dalam kerangka melaksanakan
kebijakan-kebijakan politis tertentu dari penguasa. Fakta demikian tentunya sangat
mudah untuk dijadikan basis argumentasi bahwa pengadilan HAM hakikatnya adalah
pengadilan terhadap kebijakan pemerintahan negara. Pandangan inilah yang sering
menyebabkan pihak-pihak yang diduga terlibat pelanggaran HAM mengambil sikap tidak
mau dan merasa tidak perlu bertanggung jawab.
Ketiga, konsep HAM sebagai wacana yang relatif masih baru di
Indonesia, diperkirakan dapat menjadi problem tersendiri terutama pada tataran
implementasi oleh aparat penegak hukum, baik jaksa maupun hakim ad hoc.
Keempat, beberapa kelemahan substansial yang terdapat dalam
undang-undang Pengadilan HAM, secara politis mudah dimanfaatkan
kelompok-kelompok tertentu untuk menggagalkan terwujudnya peradilan atas
kejahatan HAM. Misalnya ketentuan dalam UU No. 26 Tahun 2000 menegaskan bahwa
pengadilan HAM ad hoc terhadap kasus-kasus kejahatan HAM masa lalu hanya dapat
dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dan dengan dasar Keputusan
Presiden. Pengalaman empirik membuktikan adanya intervensi kepentingan politik
terhadap implementasi UU tentang pengadilan HAM, yakni gagalnya upaya
memperadilankan secara ad hoc kasus Tri Sakti dan Semanggi.
Berdasarkan keempat kendala tersebut diatas, dapat kita kaji satu
per satu jalan keluar untuk mengatasi kendala tersebut:
Pertama untuk penyelesaian kemungkinan terjadinya pelanggaran asas
legalitas, maka ada ketentuan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut, dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran HAM yang
digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 4 UU No. 39/1999).
Prinsip tersebut sesuai dengan ciri kejahatan hak asasi manusia yaitu extra
ordinary crime/ kejahatan luar biasa, sehingga diperlukan langkah-langkah
penanganan yang luar biasa.
Kedua adalah adanya hambatan yang bersifat politis sebagai akibat
dari suatu kebijakan penguasa. Hambatan kedua tersebut dapat diatasi dengan
pendekatan pola pikir penegakan hukum progresif yaitu menjadikan hukum sebagai
panglima dan mengesampingkan faktor-faktor politis. Bahwa setiap pembuat
kebijakan dan komando pelaksana, serta operator di lapangan bertanggungjawab
secara hukum. Seorang pengambil kebijakan yang tidak berbuat/ melakukan
pembiaran terjadinya pelanggaran HAM padahal dia mempunyai kewenangan untuk
mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dapat dijerat dengan
ketentuan hukum tentang HAM.
Ketiga adalah konsep hak asasi manusia sebagai wacana yang relatif
baru di Indonesia, sulit untuk diimplementasikan. Hal tersebut tidak seluruhnya
benar, namun dalam beberapa kesempatan memang ada beberapa kendala sebagai
akibat kurangnya pemahaman terhadap konsep HAM. Kendala tersebut tidak
hanya dialami oleh aparat penegak hukum, namun juga oleh masyarakat secara luas
dan aparatur keamanan. Kelemahan pemahaman tentang hak asasi manusia bagi
kalangan aparatur negara bagi sipil maupun militer mengakibatkan keragu-raguan
dalam melaksanakan kewajiban dan tugas serta tanggungjawabnya.
Keempat yaitu adanya kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang
berupaya menggagalkan terwujudnya peradilan atas kejahatan HAM, dapat diatasi
melalui pemahaman konsep HAM dan penegakan hukum di kalangan politisi dan
mendorong political will DPR yang
mempunyai kewenangan merekomendasikan pelanggaran HAM berat. Perlu dilakukan
upaya-upaya untuk melakukan “sterilisasi” agar keputusan-keputusan DPR dapat
benar-benar terjaga “kebersihannya” agar tetap fair dan obyektif yuridis.
Konsep penyelesaian pelanggaran HAM berat dapat dilakukan juga
melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi/ KKR apabila kasus pelanggaran
HAM berat masa lampau tersebut setelah melalui penyelidikan secara mendalam
oleh Komnas HAM tidak prospektif dan akan mengalami banyak kendala jika
diselesaikan melalui jalur pengadilan. Upaya-upaya tersebut diatas untuk
menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lampau diharapkan dapat berjalan
dengan baik sehingga tujuan perlindungan HAM dapat tercapai dan dapat mencegah
terjadinya/ terulangnya pelanggaran serupa dimasa mendatang. Dengan penegakan
hukum dan keadilan maka perlindungan hak asasi manusia warga negara Indonesia
dapat tercapai sesuai cita-cita negara hukum yang demokratis (democratische
rechtsstaat) atau negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional
democracy).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar