Kamis, 14 Januari 2016

HAM - Nida Ul Hasanah


UPAYA PERLINDUNGAN HAM

Nama              : Nida Ul Hasanah
NIM                 : 15101150
Prodi                : Manajemen


Upaya perlindungan HAM penekanannya pada berbagai tindakan pencegahan terhadap terjadinya pelanggaran HAM. Perlindungan HAM terutama melalui pembentukan instrumen hukum dan kelembagaan HAM. Juga dapat melalui berbagai faktor yang berkaitan dengan upaya pencegahan HAM yang dilakukan individu maupun masyarakat dan negara. Negara-lah yang memiliki tugas utama untuk melindungi warga negaranya termasuk hak- hak asasinya. Sebagaimana hal ini dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, yang pada intinya tujuan NKRI adalah : (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Upaya pelembagaan konsep perlindungan HAM dengan cara meregulasikannya dalam undang-undang agar dapat ditegakkan sewaktu-waktu terjadi pelanggaran terhadapnya, tampaknya bukan persoalan mudah. Terlebih lagi apabila dengan maksud untuk “menyeret” ke meja hijau para pelaku pelanggaran HAM masa lampau sebelum undang-undang HAM berlaku. Hal ini karena adanya beberapa problem yang menyertainya:
Pertama, secara yuridis upaya tersebut akan bertentangan dengan asas legalitas.
Kedua, sebagian besar pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat atau pejabat negara cenderung bersifat politis dan dalam kerangka melaksanakan kebijakan-kebijakan politis tertentu dari penguasa. Fakta demikian tentunya sangat mudah untuk dijadikan basis argumentasi bahwa pengadilan HAM hakikatnya adalah pengadilan terhadap kebijakan pemerintahan negara. Pandangan inilah yang sering menyebabkan pihak-pihak yang diduga terlibat pelanggaran HAM mengambil sikap tidak mau dan merasa tidak perlu bertanggung jawab.
Ketiga, konsep HAM sebagai wacana yang relatif masih baru di Indonesia, diperkirakan dapat menjadi problem tersendiri terutama pada tataran implementasi oleh aparat penegak hukum, baik jaksa maupun hakim ad hoc.
Keempat, beberapa kelemahan substansial yang terdapat dalam undang-undang Pengadilan HAM, secara politis mudah dimanfaatkan kelompok-kelompok tertentu untuk menggagalkan terwujudnya peradilan atas kejahatan HAM. Misalnya ketentuan dalam UU No. 26 Tahun 2000 menegaskan bahwa pengadilan HAM ad hoc terhadap kasus-kasus kejahatan HAM masa lalu hanya dapat dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dan dengan dasar Keputusan Presiden. Pengalaman empirik membuktikan adanya intervensi kepentingan politik terhadap implementasi UU tentang pengadilan HAM, yakni gagalnya upaya memperadilankan secara ad hoc kasus Tri Sakti dan Semanggi.

Berdasarkan keempat kendala tersebut diatas, dapat kita kaji satu per satu jalan keluar untuk mengatasi kendala tersebut:
Pertama untuk penyelesaian kemungkinan terjadinya pelanggaran asas legalitas, maka ada ketentuan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran HAM yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 4 UU No. 39/1999). Prinsip tersebut sesuai dengan ciri kejahatan hak asasi manusia yaitu extra ordinary crime/ kejahatan luar biasa, sehingga diperlukan langkah-langkah penanganan yang luar biasa.
Kedua adalah adanya hambatan yang bersifat politis sebagai akibat dari suatu kebijakan penguasa. Hambatan kedua tersebut dapat diatasi dengan pendekatan pola pikir penegakan hukum progresif yaitu menjadikan hukum sebagai panglima dan mengesampingkan faktor-faktor politis. Bahwa setiap pembuat kebijakan dan komando pelaksana, serta operator di lapangan bertanggungjawab secara hukum. Seorang pengambil kebijakan yang tidak berbuat/ melakukan pembiaran terjadinya pelanggaran HAM padahal dia mempunyai kewenangan untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dapat dijerat dengan ketentuan hukum tentang HAM.
Ketiga adalah konsep hak asasi manusia sebagai wacana yang relatif baru di Indonesia, sulit untuk diimplementasikan. Hal tersebut tidak seluruhnya benar, namun dalam beberapa kesempatan memang ada beberapa kendala sebagai akibat kurangnya pemahaman terhadap konsep HAM.  Kendala tersebut tidak hanya dialami oleh aparat penegak hukum, namun juga oleh masyarakat secara luas dan aparatur keamanan. Kelemahan pemahaman tentang hak asasi manusia bagi kalangan aparatur negara bagi sipil maupun militer mengakibatkan keragu-raguan dalam melaksanakan kewajiban dan tugas serta tanggungjawabnya.
Keempat yaitu adanya kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang berupaya menggagalkan terwujudnya peradilan atas kejahatan HAM, dapat diatasi melalui pemahaman konsep HAM dan penegakan hukum di kalangan politisi dan mendorong political will DPR yang mempunyai kewenangan merekomendasikan pelanggaran HAM berat. Perlu dilakukan upaya-upaya untuk melakukan “sterilisasi” agar keputusan-keputusan DPR dapat benar-benar terjaga “kebersihannya” agar tetap fair dan obyektif yuridis.

Konsep penyelesaian pelanggaran HAM berat dapat dilakukan juga melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi/ KKR  apabila kasus pelanggaran HAM berat masa lampau tersebut setelah melalui penyelidikan secara mendalam oleh Komnas HAM tidak prospektif dan akan mengalami banyak kendala jika diselesaikan melalui jalur pengadilan. Upaya-upaya tersebut diatas untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lampau diharapkan dapat berjalan dengan baik sehingga tujuan perlindungan HAM dapat tercapai dan dapat mencegah terjadinya/ terulangnya pelanggaran serupa dimasa mendatang. Dengan penegakan hukum dan keadilan maka perlindungan hak asasi manusia warga negara Indonesia dapat tercapai sesuai cita-cita negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) atau negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar